Muksin Amrin |
TERNATE - Ketua Bawaslu Maluku Utara 2017-2022, Muksin Amrin menilai gugatan yang diajukan sejumlah Pasangan Calon (Paslon) terkait hasil Pilkada di Maluku Utara (Malut) memiliki potensi untuk ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak menutup kemungkinan termasuk gugatan hasil Pilgub Maluku Utara jika ada yang kemudian mengajukan gugatan ke MK.
Menurutnya, Pasal 157 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah menyebutkan bahwa peserta diberi hak konstitusi untuk mengajukan permohonan sengketa hasil apabila dipandang hasil penetapan perolehan suara tidak berdasar atas hukum atau setidaknya terjadi perselisihan antara hasil yang di milikinya, peserta diberi waktu tiga hari terhitung sejak KPU Provinsi/Kabupaten/Kota mengumumkan hasil penetapan perolehan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepada daerah.
Namun harus dicatat bahwa ketentuan Pasal 158 mengatur tentang ambang batas sebagai syarat formil dalam beracara PHPU di MK, jika dilihat ketentuan Pasal 158 ayat (1) huruf a yang di kaitkan dengan jumlah penduduk Maluku Utara baru mencapai 1,3 Juta jiwa. Sedangkan syarat formil untuk maluku utara yakni jumlah penduduk sampai dengan 2 Juta jiwa, sehingga tidak memenuhi ambang batas 2% dari total suara syah akhir yang ditetapkan oleh KPU Maluku Utara.
"Artinya peserta yang mengajukan harus memenuhi selisi dengan peraih suara terbanyak sebanyak 2% dari total suara syah, sebaliknya untuk Kabupaten/Kota di Maluku Utara karena jumlah penduduk di bawah rata-rata 250 ribu maka harus memenuhi perbedaan paling banyak 2% dari total suara syah," ujar Muksin.
"Maka dengan demikian berdasarkan hasil penetapan suara di masing-masing KPU Provinsi/Kabupate/Kota, maka sesuai ketentuan MK berhak menolak permohonan pemohon dalam proses dismisal atau setidaknya dalam sidang pendahuluan nanti," tambahnya.
Dia menjelaskan dalam perkembangan MK telah mengubah sikap saat pemberlakuan ketentuan ambang batas sebagai syarat formil permohonan perselisihan, pemberlakuan sikap ini telah ditunjukan MK dalam beberapa putusan Pilkada sebelumnya. Namun tidaklah mudah untuk meyakinkan MK dalam merubah sikap atau mengesampingkan syarat formil, sebab pemohon membutuhkan kekuatan pembuktian ada tidaknya terjadi keselahan, kelalaian dan termasuk ada persitiwa pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif (TSM), sebab persolan TSM harus terlebih dahulu di lakukan pengujian Pelanggaran Administrasi TSM di Bawaslu Provinsi sebagai lembaga yang diberi mandatori untuk menguji pelanggaran TSM.
"Pelanggaran TSM bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan dan buktikan secara hukum, sebab syarat TSM itu harus memenuhi paling tidak tiga komponen persitiwa hukum secara komulatif yakni pelanggaran terstruktur yaitu pelanggaran yang dilakukan apparat stuktural baik apparat pemerintah mapun penyelenggara pemeilihan secara kolektif, sementara pelanggaran massif sebagai kecurangan yang direncanakan secara matang, terstruktur dan rapi, dan massif dampaknya sangat luas terhadap hasil pemilihan. Kesemuanya itu harus dibuktikan secara komulatif dalam sidang pendahuluan nanti di MK, oleh sebab itu menurur saya gugatan hasil pilkada di maluku utara berpontesi di tolak oleh MK dalam sidang putusan pendahuluan nanti," pungkasnya.
.