Oleh: Fahrul Abd. Muid
(Penulis adalah Dosen IAIN Ternate dan Sekretaris ICMI Kota Ternate)
Ternate, Alafanews - Akhir-akhir ini, publik Maluku Utara dimasyhurkan (diviralkan) dengan munculnya nalar kritik (naqd al-fikr) yang dilontarkan oleh seorang pengamat kebijakan publik terhadap policy (kebijakan) yang datang dari seorang Plt Gubenur Provinsi Maluku Utara perihal pergantian pejabat dilingkungan pemerintahan Provinsi Maluku Utara. Kebijakan itu adalah terkait dengan kasus pemberhentian jabatan Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Maluku Utara yang berpotensi tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Maka, policy (kebijakan) dari Plt Gubernur al-maqshud itu dinilai oleh pengamat tersebut sebagai bentuk personifikasi policy (kebijakan) ala Fir’aun yang identik dengan penguasa yang kejam, bengis dan tak bermoral. Bahwa Al-Qur’an bicara tentang Fir’aun, “Wajaa’ Fir’aunu” (maka kemudian datang Fir’aun).
Jika kita memaknai kata Fir’aun (Farau) itu adalah berbentuk Musytaq (kata jadian) dari lafal yang mempunyai arti ‘utuw (melampaui batas) yang tidak patut, sedangkan kata al-faraa’inah artinya adalah orang-orang yang melampaui batas. Dalam sejarah negara Mesir kuno, maka disana akan kita kenal bahwa ismun (nama) Fir’aun itu merupakan penamaan untuk jabatan penguasa yang paling tinggi di negara Mesir kuno. Bila kita bandingkan dengan negara kita Indonesia hari ini bahwa, nama jabatan dari penguasa tertinggi di negara yang satu ini yaitu berada pada jabatan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan atau sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sedangkan untuk jabatan tertinggi di tingkat Provinsi terletak pada jabatan Gubernur itu. Dan di tempat lain nama jabatan dari penguasa tertinggi dinamakan dengan sebutan Malikun (seorang raja). Sedangkan bagi negara Mesir kuno nama jabatan tertingginya dinamai dengan panggilan Fir’aun sebagai gelarnya. Tapi, sayangnya dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara waadhih (jelas) siapa nama aslinya yang disebut sebagai Fir’aun itu.
Sebagian ahli sejarah menyamakan Fir’aun dengan seseorang yang bernama Mash’ab ibn Rayyan, dan ada pula yang menyatakan ia adalah anaknya Walid ibn Mash’ab ibn Rayyan dari salah satu kaum ‘Ad. Pendapat yang lain mengatakan dengan berdasarkan fakta historis dan arkeologis yang ada di Mesir yang menunjukkan bahwa Rameses II (Fir’aun) dikenal sebagai penguasa yang terobsesi untuk mendirikan bangunan-bangunan (wa fir’auna dzi al-awtaad) dan Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (bangunan yang besar). Maka, meminjam pendapatanya Syaikh Abdurrahman As-Sad’i mengatakan, bahwa Fir’aun merupakan sebuah gelar yang diberikan kepada Raja-raja yang ada di Mesir kuno, sebagaimana Raja Babilonia yang disebut dengan gelar “Namdrud”, Raja Habasyah yang digelari dengan “An-Najashy”, Raja Yaman yang diberi gelar “Al-Qil, dan Raja Persia yang disebut dengan “Kisra”, serta penguasa Roma yang dijuluki dengan “Kaisar”.
Maka, ada hal yang sangat menarik dalam Al-Qur’an dan ini sungguh menyedot perhatian para ilmuwan dari dulu sampai sekarang. Biasanya pada kisah-kisah, dan peristiwa-peristiwa yang diuraikan oleh Al-Qur’an sama sekali tidak menjelaskan nama pelakunya, bahkan sama sekali juga tidak menjelaskan waktunya tahun berapa?Tidak juga menjelaskan tempatnya dimana? Sehingga, disini dapat dikutip pendapatnya serorang ‘Ulama besar berkebangsaan Mesir (timur tengah) dalam memberikan argumentasinya tentang hal ini, katanya begini “kalau Al-Qur’an saja tidak menyebut nama pelaku, maka itu mengisyaratkan kepada kita bahwa apa yang diuraikan oleh Al-Qur’an menyangkut tokoh yang disebut atau peristiwa yang disebut itu tidak menyebut namanya secara langsung, tetapi hanya menggunakan gelarnya maka hal itu masih berpotensi besar bisa terulang kembali dikali yang lain”.
Kalau kita berkata disini bahwa memang sebuah fakta adanya penyebutan kata Fir’aun dalam Al-Qur’an sebanyak 74 kali, dan itu bukan nama dari seseorang tertentu, maka hal itu berarti bahwa Al-Qur’an menganggap persoalan Fir’aun ini sangat urgen dan berlaku secara umum, dan hal ini masih bisa akan lahir lagi Fir’aun-Fir’aun baru hari ini, dan masih bisa juga lahir lagi perbuatan orang-orang yang durhaka kepada Tuhan-Nya, yang model kedurhakaannya seperti yang dipraktekkan oleh Fir’aun. Karena itulah bahwa Al-Qur’an tidak menyebutkan namanya.
Jadi, kita jangan berkata bahwa itu terjadi hanya terbatas (wa bil khusus) di negara Mesir kuno karena Al-Qur’an juga tidak sebutkan bahwa tempatnya hanya di Mesir. Kalau seandainya disebut namanya, disebut tempatnya, dan disebut tahunnya oleh Al-Qur’an, maka orang pasti berkata dengan beralasan bahwa itukan hanya kejadian dulu dan kemungkinan tidak akan terulang kembali. Itulah sebabnya, bahwa Al-Qur’an dengan sengaja tidak sebutkan itu untuk mengisyaratkan kepada generasi selanjutnya, bahwa ini memang terjadi pada zaman dulu dan tidak tertutup kemungkinan untuk terjadi kembali lagi sekarang ini atau di masa yang akan datang. Dan faktanya hari ini memang terbukti apa yang dibicarakan oleh Al-Qur’an tentang Fir’aun ini.
Istidlal (argumentasi) selanjutnya tentang eksistensi Fir’aun, bahwa kalau kita membuka ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang penguasa-penguasa Mesir kuno, maka kita akan temukan bahwa penguasa Mesir itu terkadang dinamakan dengan gelar Fir’aun seperti disebutkan dalam QS. Yunus ayat 83 “Tidak ada yang beriman kepada Musa selain keturunan dari kaumnya disertai ketakutan pada Fir’aun dan para pemuka kaumnya yang akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Fir’aun benar-benar berbuat sewenang-wenang di muka bumi ini, dan sesungguhnya Fir’aun benar-benar termasuk orang-orang yang melampaui batas”. Dalam kitab tafsir al-Thabari dijelaskan, bahwa personifikasi Fir’aun sangat melekat pada penguasa yang hanya mementingkan perhiasan sendiri dan kekayaan dunia. Namun akibat kekayaan itu, Fir’aun dan para pengikutnya malah terkesan barbar dan sangat menyesatkan kaumnya dari jalan Allah. Itu pula yang menyebabkan mereka binasa dan terkunci hatinya.
Dimana, puncak kesombongan Fir’aun yang kemudian dicatat oleh Al-Qur’an sebagai penguasa Tangan Besi (otoriter) dan yang lebih parahnya lagi bahwa Fir’aun sebagai sosok manusia yang pernah mengaku dirinya sebagai Tuhan yang bisa mematikan dan bisa menghidupkan dengan cara membunuh dan tidak membunuh atas manusia. Fir’aun berkata: “Aku adalah Tuhan yang paling tinggi”. Terhadap rakyatnya sendiri, maka Fir’aun membagi mereka menjadi kelompok-kelompok kecil, sehingga rakyatnya menjadi dha’if (lemah) tak berdaya. Fir’aun sangat tega untuk menyiksa siapa pun yang menentang perintah dan keinginannya. Termasuk bentuk penyiksaan sadis yang dilakukan oleh Fir’aun terhadap Siti Asiah yang juga istrinya sendiri yang ketika ketahuan bahwa istrinya telah beriman kepada Allah Swt dan ingkar terhadap kekuasaannya itu. Ketika, Fir’aun menyiksa istrinya itu maka istrinya hanya tersenyum bahagia dan sama sekali tidak merasakan kesakitan, karena saat itu Allah Swt telah memperlihatkan tempatnya didalam surga. Karena Asiah binti Majaahim adalah Wanita suci yang sama sekali tidak pernah di sentuh kesuciannya oleh Fir’aun, sebab dalam setiap berhubungan dengan Fir’aun, maka Allah gantikan dengan seorang Jin yang menyerupai Asiah.Tetapi kalau kita membaca dalam Al-Qur’an pada surat Yusuf, bahwa penguasa tertinggi Mesir dalam surat Yusuf ini tidak namai sebagai Fir’aun tetapi dalam keterangan surat Yusuf menamakan sebagai Malikun (seorang raja). Kenapa demikian? Maka para pakar-pakar taarikh (sejarah) Mesir berkata, bahwa dulunya negara Mesir kuno pernah dijajah oleh bangsa Hyksos dan mereka kemudian dinamakan sebagai Hyksos. Dan, ini terjadi sekitar abad ke-5, ke-6, ke-7, dan sampai abad ke-8 sebelum masehi. Sayangnya, mereka itu bukan orang asli Mesir, sehingga wajar saja mereka tidak memakai gelar pimpinan tertingginya sebagai Fir’aun, akan tetapi mereka namakan dirinya dengan Malikun (raja). Kemudian orang-orang Mesir yang tidak senang kepada kaum penjajah ini lalu menamakan mereka sebagai kaum Hyksos, yang artinya dalam bahasa Mesir kuno sebagai “penggembala babi”.
Jika kita membaca sejarah kenabian (qiishashu al-anbiyaa’), wabil khusus sejarah Nabi Yusuf AS yang lahir pada masa pemerintahan kaum Hyksos. Oleh karena itu, Al-Qur’an menjelaskan dalam surat Yusuf ini tidak kita jumpai adanya penyebutan penguasa tertinggi pada zaman itu dengan sebutan Fir’aun, tetapi dinamakan sebagai Malikun (seorang raja). Karena, Nabi Yusuf AS itu dilahirkan sekitar tahun 720 sebelum masehi. Dan, disisi lain kita bisa berkata bahwa Al-Qur’an menggunakan kata Fir’aun untuk menunjukkan penguasa yang tirani, penguasa yang kejam, dan penguasa yang sama sekali tidak mengenal Tuhan, tapi Fir’aun itu sendiri yang mengakui dirinya sebagai Tuhan. Beda halnya ketika Al-Qur’an menggunakan kata Malikun (seorang raja), maka itu menunjukkan penguasa Mesir kuno yang masih mengenal Tuhan, dan masih bijaksana dalam kekuasaannya seperti halnya penguasa yang pernah ada pada masa Nabi Yusuf AS. Karena pada akhirnya Nabi Yusuf AS diberikan jabatan oleh sang Raja sebagai perdana Menteri yang mengurusi persoalan logistik untuk kesejahteraan rakyatnya. Inilah karakteristik dan tipologi yang membedakan antara gelar Fir’aun dengan gelar Malikun (seorang raja) dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian, bahwa informasi yang disampaikan oleh Al-Qur’an perihal Fir'aun kepada kita hari ini sama sekali tidak pernah salah dan sungguh sejarah tentang Fir’aun ini menjadi pelajaran yang mahal harganya untuk generasi selanjuntya. Al-Qur’an menjelaskan, bahwa pada hari ini kami selamatkan jasad (badan) Fir’aun yang tenggelam di laut merah ketika mengejar Nabi Musa AS dengan pasukannya, lalu Allah Swt menenggalamkan jasad Fir’aun di dalam laut itu, dan Allah juga tidak menghancurkan jasad (badan) Fir’aun yang tenggelam agar menjadi bukti nyata bagi penguasa hari ini yang gaya kepemimpinannya model Fir’aun itu, maka cepat atau lambat hukuman Allah akan ditimpakan kepada penguasa yang kejam, bengis dan otoriter di dunia ini tanpa harus menunggu yang bersangkutan itu mati. Semoga bermanfaat tulisan ini, dan Wallahu ‘alam bishshawab.