Oleh: Fahrul Abd. Muid
Penulis adalah Dosen IAIN Ternate-Maluku Utara
Alafanews - Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam sebuah forum sosialisasi pengawasan pertisipatif dalam pemilu/pemilihan pernah berkata: “Sudahlah pak Bawaslu, cabut saja hak pilih politik kami dalam pemilu/pemilihan! Karena apa pun yang kami (ASN) lakukan pasti salah alias tidak ada benarnya. Tidak mendukung salah dan mendukung pun akan terkena persoalan netralitas. Dan kalau tidak mendukung, apabila rezim diganti, kami (ASN) akan merasakan akibatnya. Percuma saja karir yang sudah dibangun yang pada akhirnya kami (ASN) akan terbuang juga gara-gara persoalan netralitas.” Perkataan ini sangat realistis, sangat rasional dan memiliki problem tersendiri, hanya saja bahwa untuk menjadi seorang ASN yang benar-benar nertral pasti ada aturan mainnya yang memang mengikatnya sekaligus mengaturnya secara ketat dalam peraturan perundang-undangan yang sangat bertumpuk itu. Maka realitas ASN dalam penyelenggaraan pemilu/pemilihan tidak dapat dihindarkan, karena secara aspek yuridis ruang gerak ASN dalam penyelenggaraan pemilu/pemilihan sangat dibatasi, hal tersebut bertujuan untuk menjunjung tinggi atas netralitas dalam tubuh ASN agar konsisten/istiqamah dengan sekali netral maka selamanya tetap nertal dalam penyelenggaraan pemilu/pemilihan.
Netralitas merupakan salah satu asas yang mengatur penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN. Netral sendiri diartikan tidak berpihak (tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak) menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan hal yang perlu terus dijaga dan diawasi, agar pemilu/pemilihan dapat berjalan secara jujur dan adil antara calon yang memiliki kekuasaan dengan calon yang tidak memiliki relasi kuasa dilingkungan birokrasi pemerintahan. Berkaitan dengan pengaturan netralitas ASN dalam pemilu/pemilihan, peraturan perundang-undangan yang mengatur sangat beragam tidak hanya produk hukum yang berkaitan dengan pemilu/pemilihan, tetapi produk hukum yang secara khusus mengatur tentang ASN yang dikeluarkan lembaga/ kementerian. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu Kecamatan sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu/pemilihan yang memiliki fungsi pencegahan (pengawasan) dan penegakan hukum pemilu/pemilihan berwenang menindaklanjuti temuan dan/atau laporan atas dugaan pelanggaran netralitas ASN yang delik pelanggarannya diatur dalam peraturan perundang-undangan diluar kepemiluan/pemilihan (melanggar hukum lainnya).
Peran aparatur sipil negara (ASN) dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara yang berbunyi: "Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme". Dan menurut Pasal 4 ayat (15) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil larangan ASN yaitu memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah, dengan cara: terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung peserta pemilu/pemilihan dan/atau pasangan calon; menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye dan/atau mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu/pemilihan sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada ASN dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Namun, kenetralan tersebut menjadi ambigu atau multi exegesis dalam realitas pelaksanaan pemilu/pemilihan dikarenakan ASN juga merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih ataupun dipilih sesuai dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: "Setiap warga negara Indonesia berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Hanya saja netralitas ASN dalam realitas pemilu/pemilihan masih banyak yang melakukan pelanggaran atas netralitas berdasarkan data yang dimiliki oleh Bawaslu bahwa pada pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019, pengawas pemilu menemukan 732 pelanggaran netralitas ASN yang mayoritas dilakukan di media sosial, dan pada pemilihan kepala daerah tahun 2020, Bawaslu telah menerima sebanyak 805 laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN.
Adanya dinding pemisah kedua hal ini sangatlah tipis setipis kulit bawang, sehingga netralitas dalam realitas pemilu/pemilihan sering diartikan bahwa ASN memiliki dua baju, baju kemeja saat menjadi warga negara dan baju seragam ASN saat menjadi ASN. Ketika ASN dalam realitasnya memakai baju kemeja, ia dapat bertindak sebagai manusia yang bebas/merdeka. Sedangkan dalam realitas lainnya ketika memakai seragam ASN ia harus patuh terhadap peraturan perudang-undangan dan menjalankan prinsip netral/tidak memihak kepada salah satu peserta pemilu/pemilihan dan/atau pasangan calon, baik sebelum masa kampanye maupun pada saat masa kampanye. Maka ASN dilarang untuk mengunggah, berkomentar, menyukai, membagikan, dan ikut bergabung dalam grup peserta pemilu atau akun pemenangan pasangan calon. ASN juga dilarang berfoto bersama peserta pemilu, pasangan calon, tim sukses, tidak boleh like, share, dan comment di media sosialnya peserta pemilu dan pasangan calon karena hal ini berindikasi kuat menunjukkan keberpihakan ASN atau ketidaknetralannya dalam realitas pemilu/pemilihan.
Terminologi netralitas perlu dipahami secara benar oleh ASN. Karena pada hakikatnya, netralitas dalam realitas pelaksanaan pemilu/pemilihan tidak diatur untuk membelenggu kebebasan ASN dalam mewujudkan aspirasi politiknya. ASN dituntut untuk menjalankan amanahnya sebagai abdi/hamba sahaya negara yang bekerja semata-mata demi kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan suatu golongan atau partai politik tertentu. Netralitas yang sepantasnya dimiliki oleh tiap insan ASN sebagai khadim/pelayan masyarakat. Tetapi jika ada insan ASN yang tidak mengerti maksud dari netralitas tersebut dan melakukan pelanggaran dugaan nertalitasnya disinilah peranan Bawaslu secara bertingkat dalam menangani dugaan pelanggaran netralitas ASN. Bawaslu secara bertingkat berfungsi menjadi pengawas terhadap netralitas ASN yang dalam realitasnya tidak netral sesuai dalam Pasal 3 Perbawaslu Nomor 6 Tahun 2018 terdapat ketentuan berbunyi: "Netralitas Pegawai ASN, Anggota TNI, dan Anggota Polri dapat menjadi objek pengawasan Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam hal tindakan Pegawai ASN, Anggota TNI, dan Anggota Polri yang berpotensi melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu dan/atau pemilihan serta melanggar kode etik dan/atau disiplin masing-masing lembaga/instansi".
Azas netralitas ASN telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Netral bagi ASN berarti bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun. Bawaslu secara bertingkat tidak hanya berfungsi sebagai penegak hukum pemilu/pemilihan tetapi juga sebagai pengawas pemilu/pemilihan termasuk pengawasan terhadap netralitas ASN, TNI, maupun Polri. Atas dasar itu wewenang Bawaslu secara bertingkat dalam hal menangani netralitas ASN yang tidak netral tidak hanya dalam konteks penegakan hukum ansich (pro justitia) tetapi juga dalam konteks melakukan pengawasan atau dengan kata lain pintu masuk wewenang Bawaslu secara bertingkat dalam menangani netralitas ASN yang tidak netral dapat melalui fungsi pengawasan dan dapat pula melalui fungsi penegakan hukum lainnya. Jika dugaan pelanggaran ASN yang tidak netral tidak berkaitan dengan ketentuan undang-undang pemilu/pemilihan maka Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota dapat menerima, mengkaji dan merekomendasikan kepada komisi aparatur sipil negara (KASN) sebagai dugaan pelanggaran peraturan perundangan lainnya yang ancaman sanksi/hukuman adalah disipilin sedang, hukuman disiplin berat sampai dengan hukuman diberhentikan secara tidak dengan hormat karena ASN tersebut terbukti melakukan pelanggaran netralitas dalam pelaksanaan pemilu/pemilihan.
ASN mempunyai hak suara untuk memilih dalam realitas pemilu/pemilihan, akan tetapi selama dirinya masih berstatus sebagai ASN maka hak memilihnya harus disembunyikan/dirahasiakan dan tidak boleh rahasia pilihannya diungkapkan kepada orang lain cukup dirinya sendiri dan Tuhan-Nya yang mengetahuinya apalagi sampai muncul upaya ia harus mengajak orang lain untuk memilih peserta pemilu/pemilihan dan/atau pasangan calon yang didukung oleh dirinya. ASN mempunyai hak untuk dipilih dan jika ingin dipilih atau mencalonkan diri dalam pemilu/pemilihan maka alangkah baiknya ia harus mengundurkan diri saja dari ASN untuk dapat mencalonkan dirinya sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinisi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta sebagai pasangan calon dalam pemilu/pemilihan. Untuk dapat menjaga netralitas ASN, tidak hanya pengawasan dari Bawaslu secara bertingkat melainkan semua masyarakat harus ikut serta mengawasi kenetralan ASN serta ASN sendiri juga harus paham, sadar dan mengetahui arti dari arti netralitas tersebut supaya tidak ada ambiguitas exegesis/penafsiran dalam memaknai netralitas ASN agar tidak menimbulkan dugaan pelanggaran netralitas ASN yang realitasnya ia sendiri tidak mengetahui arti dari netralitas itu sendiri dan harus diingat oleh saya, anda dan kita semua yang berstatus sebagai ASN jangan salah bahwa dugaan pelanggaran netralitas itu juga didalamnya mengandung dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu/pemilihan yang sanksinya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak dua puluh empat juta rupiah. Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu ‘alam Bishshawab.