Oleh : Salim Taib
(Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Maluku Utara)
Konflik dan kerja sama dalam dunia politik merupakan dua entitas yang terus menerus berbenturan antara satu dengan yang lain, klimaks dari pertentangan kepentingan itu ekskalasinya terus menanjak naik, maka dalam perjalanan politik dengan latar belakang masing-masing dibutuhkan ruang negosiasi untuk mencari titik damai. Damai sebagai upaya rekonsiliasi untuk meminimalisir konflik kepentingan yang dapat memicu prahar.
Keinginan yang berbeda, kebutuhan yang saling bersaing dan kepentingan yang saling berlawanan menyebabkan perselisihan, pada konteks ini politik adalah keteraturan untuk mengatur kehidupan bersama. Hannah Arent mentafsir makna “Politik” yang dikemukakan oleh Anrew Heywood bahwa “politik adalah sebagai aksi bersama”. Inilah mengapa jantung dari politik sering digambarkan sebagai sebuah proses resolusi konflik, dimana pandangan dan kepentingan yang saling bersaing didamaikan.
Untuk menjelaskan makna politik pada akhirnya harus menghadapi dua problem utama, yakni yang pertama: politik adalah sebuah istilah yang mengandung banyak makna, sehingga banyak asumsi yang memaknai politik itu adalah sesuatu yang kotor, ia memunculkan gambaran tentang kesukaran, kekacauan dan bahkan kekerasan disatu sisi, yang oleh sejarawan Henry Adams menyimpulkan “Politik sebagai pengorganisasian kebencian secara sistematis” kesulitan kedua: politik didefenisakn beragam cara yang berbeda, sebagai cara penyelenggaraan kekuasaan, pembuatan keputusan bersama, penyaluran sumber daya langka, praktek penipuan dan manipulasi.
Defenisi yang paradoksal ini menunjukkan ruwetnya demensi politik yang jika ditafsir harus menggunakan pendekatan dari berbagai sudut pandang, karena politik tidak hanya dilihat sebagai pertarungan perebutan kekuasaan belaka, namun lebih dari itu tertumpuk pada apa yang menjadi kebutuhan manusia secara keseluruhan. Bahwa memang manusia dalam dinamika kehidupannya yang oleh Nicolo Machiavelli dalam “The Art Of War”, mengatakan bahwa manusia itu luar biasa licik, tamak dan haus akan kekuasaan, keegoisan selalu ada di jantung setiap hubungan manusia. Akibatnya kehidupan pada umumnya dan kehidupan politik pada khususnya, cenderung menjadi pertarungan yang berputar-putar, seperti lingkaran setan, guna memperebutkan dominasi dan perluasaan kekuasaan serta wilayah, lebih lanjut secara sederhana menurut Niccolo, politik hanya membahas tentang perebutan dan merebut kekuasaan.
Dalam cara perebutan kekuasaan politik inilah terjadi persinggungan banyak hal yang terumuskan dalam taktik dan strategi, baik dengan cara-cara kotor maupun sebaliknya dengan cara-cara santun lagi baik jalannya, pada narasi ini politik menjadi paradoksal, artinya berada pada dua kutub yang berbeda, yakni memilih kotor atau bersih. Diujung narasi yang tertinggi kita akan sampai pada filsuf besar Aristoteles yang menyebut “Manusia pada dasarnya adalah hewan yang berpolitik” sudah disebut hewan bermain politik lagi.
Robertus Robets menarasikan politik sebagai erena dan asal-muasal kericuhan, dagang sapi, identik dengan perilaku tamak, licik, munafik, tanpa mengindahkan prinsip. Politik dimengerti sebagai perilaku tercela kolektif yang secara hukum terlembagakan dan termaklumkan” atau disebut oleh M.D.La Ode sebagai politik tiga wajah. Lanjut Robertus Robet menjelaskan bahwa keadaan ini menciptakan dugaan bahwa seakan-akan politik memiliki dua muka yang berpisah yang oleh Paul Ricoeur menulis dalam esai berjudul “The Political Paradox” dalam artikel itu ia mengatakan bahwa politik hanya ada dalam momen-momen agung. Pandangan ini diajukan dengan basis bahwa politik menurutnya memiliki asal-muasal ganda: yakni politik yang rasional dan politik yang durjana, inilah yang disebut sebagai political paradox, karena persis di dalamnya ada gerak pemisahan sekaligus gerak penyatuan yang tiada habis-habisnya (Robertus Robet, Manusia Politik: 218).
Manuver elit politik menjelang konstestasi pilpres 2024 memainkan mesin “political paradox ada gerak penyatuan dan ada gerak pemisahan, bersatu dalam satu kepentingan dan berpisah saat berbeda kepentingan, ada adigium dalam dunia politik yang sering kita dengar bahwa tidak ada perkawanan abadi melainkan kepentingan pribadi, mata pana politik paradox begitu tajam dan memiliki dua mata yang dimainkan terus menerus dalam rebutan-rebutan kekuasaan, hari-hari ini kita disuguhi di layar depan ruang publik perdebatan panas akrobat politik penghiatan yang dimainkan oleh “umara” dalam rangka melanggengkan kuasa yang banyak orang menyebut dengan istilah pelanggengan “Dinasti Politik”
Peristiwa dihamparkannya karpet merah sejak dari solo, menuju ibukota Negara hingga bertahta dipuncak Nusantara, yang kemudian karpet merah itu diperuntukan kembali pada epesod 2020 buat anak, buat menantu semua itu dipersembahkan untukmu sang Raja, entahlah monster apa yang merasuki sehingga dengan enteng mengacak-ngacak keteraturan hukum yang menjadi model of rule yang mangatur ambang batas usia 40tahun sistem demokrasi bangsa ini dirubah secepat anak panah yang di lepas dari busurnya, lolos dan keluar dari jebakan kecilnya lubang jarum, kolaborasi yang mengasyikkan antara ayah, paman, adik dan kaka dalam meloloskan keberlanjutan kekuasaan. Permainan dan rebutan politik kekuasaan 2024 begitu mengasyikkan karena mereka tau ”the post power sindrom” enaknya kuasa dan takut hilangnya kekuasaan, obat dari penyakit Post Power Sindrom oleh Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid adalah janganlah engkau memprtahankan mati-matian kekuasaanmu, karena itu akan membahayakan, menyakitkan dan membinasakan. Kita tunggu permainan the political paradox selanjutanya.